Minggu, 26 Mei 2013

GAMBAR SEBAGAI BAHASA


Arsitek sangat lekat dengan gambar. Apa jadinya seorang arsitek tanpa sebuah gambar. Arsitek juga lekat dengan karya-karya yang indah dan artistik. Lalu apa perbedaan seorang arsitek dan seorang seniman lukis? kedua-duanya sangat lekat dengan gambar dan karya indah dan artistik.
Seorang seniman lukis adalah orang yang merdeka, mereka hanya melawan dirinya sendiri dan hasil akhirnya adalah sebuah karya seni. Lain halnya dengan seorang arsitek. Boleh dikata seorang arsitek adalah orang yang terpenjara oleh keinginan-keinginan klien. Dimana semula seorang arsitek mempunyai idealisme untuk membuat karya artistik namun pada akhirnya idealisme tersebut berkurang, yang semula 100% menjadi 20% hanya karena tekanan dari klien.
Pada proses desain, seorang arsitek tidak hanya melawan diri sendiri, namun dia juga menghadapi sebuah tantangan dimana dia harus mengakmodasi semua keinginan dari klien, membuat kualitas hidup klien menjadi lebih baik dan tidak lupa membuat sebuah karya indah dan artistik.
Untuk mewujudkan semua itu sorang arsitek harus berhubungan dengan banyak pihak. Antara lain dengan klien itu sendiri, perencana struktur, kontraktor dan interior desain. belum lagi ketika dalam proses merealisasikan desain seorang arsitek harus mengikuti proses konstruksi di lapangan. Di saat seperti ini seorang arsitek harus bertemu dengan berbagai disiplin ilmu, berbagai macam latar belakang dan budaya orang-orang yang terlibat dalam mewujudkan karya arsitektur. Dan bahasa gambar menjadi sebuah perekat dialognya.
Dan pada akhirnya karya seorang arsitek bukan hanya sebuah karya indah dan artistik. Namun sebuah karya yang mampu membuat kualitas hidup seseorang dan sekelompok manusia menjadi lebih baik.

Kamis, 08 November 2012

PERUMAHAN SETENGAH ILEGAL




Pembangunan perumahan untuk hunian merupakan salah satu upaya memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduk di suatu wilayah.  Bahkan dalam konsideran UU No 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman secara tegas disebutkan, negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan.  Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman oleh negara ini mendapatkan dukungan penuh pelaku bisnis properti/pengembang.  Persoalannya, tugas mulia yang dilakukan pengembang untuk menyediakan perumahan permukiman secara layak dengan harga terjangkau, seringkali tidak dilakukan secara baik dan taat asas.  Akibatnya, masyarakat konsumen dan pemerintah daerah-lah yang dirugikan.
“Dijual, Rumah Berbagai Type di Kawasan Strategis, Fasilitas Lengkap, 15 Menit ke Bandara, 10 Menit ke Kota, SHM” begitulah kira-kira substansi promosi yang dilakukan pengembang perumahan di berbagai wilayah.  Secara substansi, apakah ada yang salah dengan promosi itu? Jawabannya tentu tidak.  Bagi orang awam yang mempunyai cukup uang, promosi itu sangat menarik dan memungkinkan untuk ditindaklanjuti dengan transaksi/pembelian. Hal inilah yang dimungkinkan konsumen awam “terjebak” dengan bahasa yang ditawarkan pengembang.  Coba lihat, di akhir promosinya tertulis SHM, yang berarti Sertifikat Hak Milik.  Jaminan adanya SHM memberi kesan kuat, perumahan permukiman yang ditawarkan adalah legal dan pembeli tidak perlu merisaukan persoalan perizinan.
Tetapi jangan salah, justru persoalan perumahan yang berkembang saat ini salah satunya adalah terbitnya SHM atas nama pembeli, tetapi tidak diawali dengan izin lain yang di persyaratkan.  Status tanahnya sudah SHM, tetapi legalitas lainnya seperti: (1) Izin lokasi atau izin pemanfaatan tanah, (2) perolehan tanah, (3) penyusunan dokumen lingkungan, (4) penyusunan site plan dan (5) izin mendirikan bangunan (IMB) tidak dipenuhi.  Untuk sampai terbit SHM seharusnya melalui tahapan sebagaimana telah ditetapkan.
Tetapi realitas menunjukkan, tanpa ada beberapa perizinan yang dipersyaratkan untuk pembangunan perumahan, dapat terbit SHM atas nama pembeli.  Artinya mekanisme perizinan yang telah ditetapkan di-bypass untuk langsung pada proses sertifikasi.  Dengan demikian dapat dinyatakan, status bidang tanah perumahan tersebut legal, tetapi bangunan rumah berikut kawasan perumahannya illegal.  Dalam hal ini jelas pihak konsumen yang paling dirugikan.  Kondisi ini tenyata menggejala di beberapa wilayah di Indonesia.
Lebih parah lagi, pada saat ini Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah sedang menangani permasalahan yang meresahkan konsumen, yakni (1) perumahan yang dibeli belum memiliki izin IPPT, (2) pengembangan sudah mempunyai IPPT namun belum menindaklanjuti perizinan yang lainnya termasuk IMB, (3) beberapa perumahan yang sudah terbangun dan dihuni sertifikatnya masih atas nama pemilik asal dan belum diproses lebih lanjut sesuai aturan, (4) beberapa perumahan dengan luas kapling tidak sesuai aturan minimal luas kapling, (5) beberapa pengembang sudah tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan proses perizinan, (6) pengembang telah dinyatakan pailit, (7) beberapa pengembang sudah gulung tikar dan tidak diketahui keberadaannya.
Berbagai permasalahan riil yang dihadapi konsumen dan pemerintah daerah ini, tidak sederhana, saling silang sengkarut antara kepentingan kemudahan perizinan dan retribusi daerah bagi pemerintah daerah, percepatan pengembangan investasi dan keuntungan bagi pengembang dan kemudahan mendapatkan perumahan bagi konsumen dengan harga murah.  Kepentingan-kepentingan inilah yang kemudian menjadikan pembangunan perumahan permukiman sebagai sebuah dualisme yang berujung pada perumahan permukiman ‘setengah ilegal’.
Merespon berbagai permasalahan tersebut, seharusnya ada upaya untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan berbagai permasalahan perumahan sehingga konsumen tidak merasa dirugikan.