Pembangunan perumahan untuk hunian merupakan salah
satu upaya memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduk di suatu wilayah.
Bahkan dalam konsideran UU No 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
secara tegas disebutkan, negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa
Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar
masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan
terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis dan
berkelanjutan. Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman oleh
negara ini mendapatkan dukungan penuh pelaku bisnis properti/pengembang.
Persoalannya, tugas mulia yang dilakukan pengembang untuk menyediakan perumahan
permukiman secara layak dengan harga terjangkau, seringkali tidak dilakukan
secara baik dan taat asas. Akibatnya, masyarakat konsumen dan pemerintah
daerah-lah yang dirugikan.
“Dijual, Rumah Berbagai Type di Kawasan Strategis,
Fasilitas Lengkap, 15 Menit ke Bandara, 10 Menit ke Kota, SHM” begitulah
kira-kira substansi promosi yang dilakukan pengembang perumahan di berbagai
wilayah. Secara substansi, apakah ada yang salah dengan promosi itu?
Jawabannya tentu tidak. Bagi orang awam yang mempunyai cukup uang,
promosi itu sangat menarik dan memungkinkan untuk ditindaklanjuti dengan
transaksi/pembelian. Hal inilah yang dimungkinkan konsumen awam “terjebak”
dengan bahasa yang ditawarkan pengembang. Coba lihat, di akhir promosinya
tertulis SHM, yang berarti Sertifikat Hak Milik. Jaminan adanya SHM
memberi kesan kuat, perumahan permukiman yang ditawarkan adalah legal dan
pembeli tidak perlu merisaukan persoalan perizinan.
Tetapi jangan salah, justru persoalan perumahan yang
berkembang saat ini salah satunya adalah terbitnya SHM atas nama pembeli,
tetapi tidak diawali dengan izin lain yang di persyaratkan. Status
tanahnya sudah SHM, tetapi legalitas lainnya seperti: (1) Izin lokasi atau izin
pemanfaatan tanah, (2) perolehan tanah, (3) penyusunan dokumen lingkungan, (4)
penyusunan site plan dan (5) izin mendirikan bangunan (IMB) tidak
dipenuhi. Untuk sampai terbit SHM seharusnya melalui tahapan sebagaimana
telah ditetapkan.
Tetapi realitas menunjukkan, tanpa ada beberapa perizinan yang
dipersyaratkan untuk pembangunan perumahan, dapat terbit SHM atas nama
pembeli. Artinya mekanisme perizinan yang telah ditetapkan di-bypass untuk
langsung pada proses sertifikasi. Dengan demikian dapat dinyatakan,
status bidang tanah perumahan tersebut legal, tetapi bangunan rumah berikut
kawasan perumahannya illegal. Dalam hal ini jelas pihak konsumen yang
paling dirugikan. Kondisi ini tenyata menggejala di beberapa wilayah di
Indonesia.
Lebih parah lagi, pada saat ini Dinas Pengendalian
Pertanahan Daerah sedang menangani permasalahan yang meresahkan konsumen, yakni
(1) perumahan yang dibeli belum memiliki izin IPPT, (2) pengembangan sudah
mempunyai IPPT namun belum menindaklanjuti perizinan yang lainnya termasuk IMB,
(3) beberapa perumahan yang sudah terbangun dan dihuni sertifikatnya masih atas
nama pemilik asal dan belum diproses lebih lanjut sesuai aturan, (4) beberapa
perumahan dengan luas kapling tidak sesuai aturan minimal luas kapling, (5) beberapa
pengembang sudah tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan proses
perizinan, (6) pengembang telah dinyatakan pailit, (7) beberapa pengembang
sudah gulung tikar dan tidak diketahui keberadaannya.
Berbagai permasalahan riil yang dihadapi konsumen
dan pemerintah daerah ini, tidak sederhana, saling silang sengkarut antara
kepentingan kemudahan perizinan dan retribusi daerah bagi pemerintah daerah,
percepatan pengembangan investasi dan keuntungan bagi pengembang dan kemudahan
mendapatkan perumahan bagi konsumen dengan harga murah.
Kepentingan-kepentingan inilah yang kemudian menjadikan pembangunan perumahan
permukiman sebagai sebuah dualisme yang berujung pada perumahan permukiman
‘setengah ilegal’.
Merespon berbagai permasalahan tersebut, seharusnya
ada upaya untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan berbagai permasalahan
perumahan sehingga konsumen tidak merasa dirugikan.